![]() |
| Add caption |
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Agustus 2010
Kota Terbit : Jakarta
Jumlah Halaman : 424 hal
Sebuah novel yang mengisahkan tentang persahabatan lahir kembali di tanah air. Selain itu novel ini juga mengisahkan keteguhan seorang anak menggapai mimpinya untuk dapat menjamah Negara lain.
Dalam setengah
perjalanan membaca novel negeri 5 menara, saya mulai merasa novel ini mirip
dengan novel Harry Potter karya J.K Rowling. Mengapa demikian? Karena novel
karya A.Fuadi ini bercerita tentang kehidupan di pondok madani (PM) sebagai
tempat mempelajari ilmu agama dan cara hidup. Kalau novel Harry Potter
mengisahkan tentang seorang anak (baca:Harry Potter) yang mempelajari ilmu
sihir di Hogwart. Itulah kesan pertama yang saya dapatkan. Masalah kesamaan ini
tidak akan saya bahas.
Dalam novel ini kita
akan banyak melihat bagaimana keunikan sebuah pondok dalam membangun
kekreatifan santri dan bagaimana seorang santri mampu mengembangkan minat dan
bakatnya.
Spirit belajar sang
tokoh yaitu Alif, dipengaruhi oleh para sahabatnya dan para guru/ustad yang
selalu memberi motivasi. Sehimgga ia sangat semangat menjalani kehidupannya di
PM, seperti mengikuti aturan, kegiatan yang lumayan padat, serta menghadapi
ujian yang menguras tenaga dan otak.
Novel ini juga
seolah-olah membiaskan kita akan keterbelakangan sebuah pondok pesantren. Karena
kebanyakan orang awam yang minim pengetahuannya akan pondok pesantren, monomer duakan
pondok pesantren dalam menuntut ilmu. Dengan anggapan bahwa di pondok kita
tidak dapat hidup bebas karena banyaknya aturan.
Aturan-aturan yang
ketat dan kegiatan di PM yang padat, disajikan dengan menarik. Penulis berusaha
menyadarkan pembaca bahwa ketatnya aturan dan padatnya kegiatan dapat diatasi
dengan tekad yang kuat. Karena hal tersebut bagian dari sebuah proses. Apa lagi
dia selalu menggenggam sebuah mantra kesayanganya yaitu Man Jadda Wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan
hasil.
Cara belajar bahasapun
memang dipaksakan di PM ini. Tetapi itu merupakan kurikulum belajar dari PM
sendiri. Dengan keseharian menggunakan bahasa inggris atau arab. Tanpa boleh
menggunakan bahasa Indonesia satu katapun. Jika ketauan menggunakan bahasa
Indonesia akan mendapatkan hukuman dari para pemegang hokum PM. Dan inilah yang
akan menjadi sebuah efek jera yang akan mendorong seseoran agar mampu menguasai
bahasa asing agar tidak kena hukum lagi.
Melatih kemampuan
berbahasa asing memang sangat dibutuhkan. Karena didunia ini kita hidup
sendiri. Untuk itu PM melatih kemampuan berbahasa asing kepada santrinya. Khususnya
bahasa Arab dan bahasa Inggris yang merupakan bahasa global.
Seorang santri akan
sangat sering berinteraksi dengan teman sekamarnya. Disinilah persahabatan
mulai dibangun untuk menghilangkan rasa sepi. Alif mendapatkan sahabat yang
senantiasa mendampinginya hingga kelulusan dari PM. Tanpa sahabat Alif mungkin
tidak akan mampu mengatasi kesehariannya di pondok.
Penulis menciptakan
ruang persahabatan yang harmonis. Dimana latar belakang, karakter, dan minat
mereka berbeda-beda. Tetapi mereka mampu saling mengisi, dan mereka belajar
memahami antara yang satu dan yang lainnya.
Begitulah kehidupan
pondok pesantren yang dihadirkan oleh penulis untuk pembaca. Bahwa segala yang
ada di pondok pesantren tidak seperti sepengetahuan orang awam. Jangan
meremehkan pondok pesantren seperti yang dilakukan Alif pada bab-bab awal buku
ini. Jika kita mau berusaha menjalaninya pasti akan diberikan jalan oleh Allah
S.W.T.
Keteguhan menamatkan
pendidikannya dirinnya di PM berbuah manis. Walaupun proses kesuksesannya tidak
hadirkan secara rinci. Tetapi yang kita ketahui bahwa si Alif berhasil menjadi
seorang wartawan di Amerika.



0 komentar:
Posting Komentar